Muarocerito.Blogspot.com- Amrun (65) sore itu menyiapkan perahu dan membawa sebuah wadah. Ia tidak lupa mengenakan topi.
Tidak lama kemudian, Amrun mengendarai perahu dengan menggunakan bambu yang panjang. Lansia itu ingin mendekati tangkul, alat penangkap ikan yang sudah dipasangnya sejak pagi di Danau Sipin, Kota Jambi. Ia menaruh harapan dapat memperoleh ikan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebelum berangkat, ia bercerita tentang tangkul sebagai tradisi menangkap ikan yang diwariskan secara turun-temurun. Menurutnya, tangkul merupakan warisan budaya yang harus dipertahankan.
"Keberadaan ketek (perahu bermesin) tidak terlalu berpengaruh untuk penghasilan tangkul. Makanya, keberadaan tangkul bisa berbagi tempat," ujarnya.
Sementara itu, Rabuhan (53) pernah mendapatkan tawaran ganti rugi agar berhenti menggunakan tangkul di Danau Sipin. Namun, ia memilih bertahan karena dengan menggunakan tangkul, ia bisa memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarganya.
"Sejak berumur 7 tahun saya menggunakan tangkul. Penghasilan dalam satu hari tidak menentu. Kadang mendapatkan ikan 5 kilogram. Ada saatnya mendapatkan 100 kilogram," tutur warga Kelurahan Legok, Kota Jambi tersebut.
Seorang pegiat kebudayaan, M Ali Surakhman menyampaikan eksistensi tangkul cenderung terabaikan, sehingga Pemerintah Kota Jambi tidak mengenalkan warisan budaya itu kepada masyarakat yang lebih luas.
Padahal, tangkul layak dilestarikan karena dapat menjadi objek edukatif di Danau Sipin; alat penangkap ikan ini diduga merupakan warisan pra sejarah. Kata Ali, penggunaan tangkul pun merupakan tradisi yang ramah lingkungan.
![]() |
| Tangkul |
"Sebenarnya Tangkul itu sistem pengetahuan harus diangkat dan dipertahankan, sehingga dapat menjadi objek edukasi untuk pengunjung di sana. Kemudian penggunaan tangkul ini tidak menangkap semua ikan demi menjaga keseimbangan alam, berbeda dengan teknologi modern anak-anak ikan pun diambil," ujar Ali.
Kepala Kelurahan Legok, Zulkarnain mengatakan ada sekitar 56 tangkul di Danau Sipin, Legok, yang kebanyakan berada di hulu dan hilir danau. Sebagian tangkul ini telah diusulkan pada Wali Kota Jambi agar menjadi bagian dari wisata.
Jika usulan itu berhasil, pengunjung dapat menikmati ikan hasil tangkapan langsung dari penggunaan tangkul. Namun, sampai saat ini belum ada perkembangan.
Zulkarnain menyampaikan memang hasil tangkapan menggunakan tangkul belakangan ini berkurang. Tidak seperti 5 tahun yang lalu, yang mana satu kali angkat jaring tangkul, sebanyak 3 sampai 4 kilogram ikan bisa didapatkan di Danau Sipin.
Demi keberadaan tangkul di Danau Sipin dapat bertahan, Zulkarnain sudah mengajukan program Tangkul Wisata. Ada sekitar 20 tangkul yang diajukan, karena berada dekat dengan area wisata Danau Sipin.
"Satu tangkul dikembangkan dengan harga Rp 20 juta. Dengan menggunakan aksesoris modern. Ada komponen besi. Lalu, pondoknya kita perbaiki. Dicat juga. Intinya serba baru. Memang tidak banyak, ada 20 tangkul. Nanti ada tiket atau karcis agar pengunjung dapat menggunakan tangkul. Ikannya diambil untuk dibawa pulang atau diolah lalu makan di sekitar danau," tuturnya.
Meski kearifan lokal terwariskan di Danau Sipin, masih ada warga yang menangkap ikan dengan cara yang tidak sesuai, yakni dengan teknik menyeterum. Kebanyakan dilakukan oleh anak muda. Zulkarnain menyesalkan kebiasaan yang tidak sesuai kearifan lokal itu.
"Mereka menggunakan aki, cakupannya 2 meter. Bukan ikan besar saja yang mati, telur dan ikan kecil kan juga mati," katanya.
Ia berharap masyarakat tidak lagi menangkap ikan dengan teknik menyeterum karena dapat mengganggu kelestarian ikan di Danau Sipin.
"Melalui ketua RT, kami mengimbau masyarakat jangan menggunakan teknik setrum. Apabila ada lagi, nanti kita tangkap tangan, dan memberikan pemahaman," tuturnya.
Penulis: M Sobar Alfahri

Tidak ada komentar:
Posting Komentar